Makna Kalimat Gandrung

Tari Gandrung memang identik dengan Banyuwangi. Ia adalah ikon Banyuwangi, kota yang juga dijuluki sebagai Kota Gandrung.

Muin Info - Gandrung dalam Bahasa Indonesia artinya  sangat mencintai, tergila-gila karena asmara, sangat ingin (mendambakan), sangat menyenangi, menaruh perhatian besar.

Adapun menurut masyarakat Banyuwangi, tempat kesenian tari Gandrung berasal, Gandrung bermakna terpesonanya masyarakat Bumi Blambangan, sebutan lain Banyuwangi, pada Dewi Sri, Sang Dewi Kesuburan atau Dewi Padi, pembawa kesejahteraan pada mereka yang mayoritas petani. Tari Gandrung dimainkan sebagai ekspresi rasa terpesona dan rasa syukur mereka sehabis panen raya di tanah orang Osing, Banyuwangi.

Tari Gandrung memang identik dengan Banyuwangi. Ia adalah ikon Banyuwangi, kota yang juga dijuluki sebagai Kota Gandrung.

Tari Gandrung dimainkan dengan iringan musik tradisional masyarakat Osing, penduduk asli Banyuwangi, yang merupakan perpaduan musik tradisional Jawa dan Bali.

Sejarah

Dari sisi sejarah, sebagaimana yang dikisahkan masyarakat sekitar, kesenian Gandrung awal mulanya muncul bersamaan dengan mulai dibukanya Alas (hutan) Tirtagondo atau Tirta Arum, untuk membangun ibu kota Blambangan pengganti ibu kota lama di kota pelabuhan Ulu Pangpang.

Waktu itu tari Gandrung dimainkan oleh serombongan laki-laki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana. Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Blambangan usai Perang Puputan Bayu.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, sekitar tahun 1767, pasukan VOC menyerang dan meluluhlantahkan Blambangan dalam Perang Puputan Bayu, perang besar yang memakan begitu banyak korban (dari enampuluh ribu lebih rakyat Blambangan, hanya tersisa sekitar lima ribu orang).

Dengan berakhirnya Perang Puputan Bayu pada tahun 1772, sisa orang-orang Blambangan tercerai-berai menyingkir ke hutan, gunung, atau wilayah-wilayah lainnya.

Dan setelah itu, di antara mereka berusaha mengumpulkan seluruh kawan-kawan seperjuangannya dengan cara menahbiskan diri sebagai penari Gandrung. Mereka mengadakan pertunjukan dari kampung ke kampung dan mendapat imbalan berupa beras atau hasil bumi lainnya. Imbalan tersebut sebenarnya merupakan sumbangan untuk dibagikan kepada mereka yang bersembunyi di pedesaan, pegunungan, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaannya pasca Perang Puputan Bayu.

Dari sini nampak bahwa kesenian Gandrung lahir sebagai alat perjuangan menyelamatkan sisa-sisa rakyat Blambangan yang telah berkorban habis-habisan melawan kompeni Belanda, dan membangun kembali Bumi Blambangan yang porak-poranda akibat perang.

Selain itu, tari Gandrung juga dimainkan dengan tujuan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara selamatan yang berkaitan dengan pembukaan hutan yang dianggap angker.

Saat itu, Tari Gandrung hanya dibawakan oleh laki-laki, yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian disebut sebagai Gandrung Marsan, diambil dari nama seorang penari Gandrung bernama Marsan yang populer pada masa sekitar tahun 1867.

Gandrung Semi

Lalu pada perkembangannya, Tari Gandrung tak lagi hanya dimainkan kaum lelaki, tapi juga wanita. Penari Gandrung wanita pertama adalah Semi, seorang gadis yang pada waktu itu (sekitar tahun 1895) berusia sepuluh tahun.

Menurut cerita yang dipercaya masyarakat Osing, waktu itu Semi menderita penyakit parah. Segala cara pengobatan sudah dilakukan, namun ia tetap tak kunjung sembuh. Lalu ibu Semi yang bernama Mak Midah bernazar, "Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing." (Kalau kamu sembuh, aku jadikan Seblang, kalau tidak ya tidak jadi.)

Akhirnya Semi sembuh dan dijadikan penari Seblang yang punya kaitan erat dengan tari Gandrung. Maka dimulailah babak baru sejarah Gandrung yang kali pertama dimainkan wanita. Tarian Gandrung ala Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya. Kesenian tari ini akhirnya terus berkembang di seantero Banyuwangi.

Saat itu Gandrung secara tradisi hanya boleh dimainkan oleh para keturunan penari sebelumnya. Namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan Gandrung mempelajari tarian ini untuk dimainkan di pentas-pentas hiburan rakyat, seperti saat musim panen raya, resepsi pernikahan, khitanan, serta acara seremonial lainnya, sebagai hiburan sekaligus penghormatan kepada hadirin dan tamu undangan. Berkat merekalah, kesenian Gandrung bisa bertahan eksistensinya hingga sekarang.

Tahapan Pertunjukan Tari Gandrung

Dalam pertunjukan Tari Gandung, setidaknya ada tiga bagian yang ditampilkan. Pertama adalah 'jejer', yaitu bagian ketika penari Gandrung menari sendiri atau berkelompok, tanpa melibatkan tamu laki-laki. Selepas jejer, adalah 'paju' (atau maju), di mana setiap penari wanita berpasangan dengan tamu laki-laki yang masuk ke pentas untuk ikut menari. Dan penutup dari pertunjukkan Gandrung ini adalah 'seblang subuh'. Pada bagian ini, penari bergerak lambat dengan iringan gending bertema sedih.

Busana

Busana penari Gandrung pada masa kini terdiri dari penutup badan berbahan beludru berbenang emas dilengkapi selendang di pundak. Kostum bagian bawah biasanya menggunakan jarik (kain) batik dengan motif yang paling umum adalah corak Gajah Oling. Dan sebagai hiasan kepala, digunakan 'omprok', semacam mahkota dari kulit kerbau dengan ornamen berwarna. Selain itu, biasanya penari Gandrung membawa 1 atau 2 buah kipas.

Prostitusi Terselubung

Melihat bentuk pementasannya, tari ini dianggap satu genre dengan Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger atau Ronggeng di wilayah Banyumas, dan Joged Bumbung di Bali.

Menurut tradisinya, pertunjukan tari Gandrung dilaksanakan malam hari, dimulai sekitar pukul 21.00, dan berakhir menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

Dulu para penari gandrung pernah tak lepas dari prasangka atau citra negatif sebagian masyarakat. Beberapa kelompok sosial tertentu menilai bahwa penari Gandrung adalah perempuan yang berprofesi negatif. Orang melihat, dalam pertunjukan tari Gandrung yang dilakukan malam hari, terutama saat penari wanita berpasangan dengan tamu laki-laki secara bergantian, disitulah terjadi praktek prostitusi terselubung, di mana para penari wanita dianggap mau melakukan apa saja yang diminta oleh pasangannya. Hal itu membuat tari Gandrung hanya diminati kalangan tertentu saja.

Maskot Pariwisata

Namun seiring berjalannya waktu, terutama sejak sekitar tahun 2000an, mulai bangkit antusiasme kalangan seniman dan budayawan setempat pada seni tari Gandrung. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian khas yang mengandung nilai historis komunitas Osing yang dalam perjalanan sejarahnya pernah terpinggirkan dan mengalami tekanan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan budaya masyarakat Osing.

Berangkat dari situ, mulailah tari Gandrung dipromosikan ke kalangan yang lebih luas. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun mulai mewajibkan siswa dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian asli Banyuwangi ini.

Kini tari Gandrung telah resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang ditandai dengan pembuatan patung penari gandrung di beberapa sudut wilayah ujung timur pulau Jawa tersebut. Pertunjukan tari Gandrung pun menjadi daya tarik tersendiri yang mampu membangkitkan minat wisatawan lokal dan mancanegara untuk datang ke Banyuwangi, 'The Sunrise of Java'.

Dari berbagai sumber